Jakarta, YukUpdate – Masuk bulan Februari 2021, kenaikan cukai hasil tembakau sebesar 12,5% mulai berlaku. Konsumen harus bersiap-siap karena harga rokok akan naik lagi untuk tahun ini.
Tidak semua golongan atau jenis rokok dinaikkan tarif cukainya. Hanya jenis Sigaret Kretek Mesin (SKM) dan Sigaret Putih Tangan (SPT) yang tarif cukainya naik. Untuk kategori SKM cukainya naik 13,8% – 16,9% tergantung golongan, sementara untuk SPM naik 16,5% – 18,4%.
Kebijakan ini menurut eks bos Bank Dunia itu telah mempertimbangkan beberapa hal seperti target penerimaan negara dari cukai yang dipatok di Rp 173 triliun pada 2021 dan untuk melindungi pekerja di industri tembakau sebanyak 158,5 ribu orang dan petani tembakau sebanyak 2,6 juta orang.
Kenaikan tarif cukai hasil tembakau selain untuk meningkatkan penerimaan negara juga untuk mengendalikan konsumsi rokok di kalangan remaja Indonesia usia 10-18 tahun agar dapat sesuai target yang dipatok sebesar 8,7% di RPJMN tahun 2024 nanti.
Artinya dalam kurun waktu lima tahun terakhir, pemerintah menaikkan tarif cukai rokok rata-rata 11,3% per tahun. Pada 2019 pemerintah sempat tidak menaikkan tarif cukai rokok. Baru di tahun 2020 tarif cukai rokok dinaikkan sebesar 23%.
Kenaikan cukai rokok pada tahun 2020 seharusnya membuat harga rokok mengalami kenaikan sebesar 35%. Namun jika melihat kondisi riil di lapangan terutama di harga eceran nilai median kenaikan harga rokok untuk merek-merek yang terkenal sebesar 9%.
Rokok-rokok dengan kategori Sigaret Kretek Mesin (SKM) yang pangsa pasarnya mencapai 75% dengan merek-merek yang populer mengalami kenaikan harga yang minim.
Mengacu pada data survei Bahana Sekuritas terhadap harga eceran rokok Januari 2021, beberapa merek yang harganya mengalami kenaikan tinggi hingga 20% dalam setahun terakhir antara lain Lucky Strike Bold 20 (Bentoel) dan LA Bold 20 (Djarum).
Sementara itu untuk produsen rokok PT Gudang Garam Tbk (GGRM) dan PT HM Sampoerna Tbk (HMSP) kenaikan tertingginya tak sampai 20%. Dalam satu tahun terakhir harga rokok GG Mild (GGRM) naik 16%. Merek ini merupakan merek rokok produksi GGRM yang naik paling tinggi dibandingkan dengan merek lain.
Untuk merek GG Filter Internasional dan Surya Pro 16 harganya mengalami kenaikan yang paling minim yaitu 2-3% saja.
Beralih ke produsen rokok lain yaitu HMSP, merek rokok yang harganya paling naik adalah Phillip Moris Bold (U Bold) hingga 18%, kemudian disusul oleh Marlboro Filter Black yang naik 14%.
Sementara untuk salah satu merek yang tergolong paling laris produksi HMSP yaitu Sampoerna A Mild berbagai kemasan mengalami kenaikan 4% saja. Bahkan untuk yang kemasan 12 batang harganya tidak naik sama sekali.
Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan dampak kenaikan tarif cukai 12,5% akan membuat harga rokok semakin mahal sehingga semakin sulit untuk dijangkau.
“Kenaikan CHT [Cukai Hasil Tembakau] ini akan menyebabkan rokok jadi lebih mahal atau naik menjadi 13,7-14% sehingga makin tidak dapat terbeli,” kata Sri Mulyani dalam konferensi pers virtual, Kamis (10/12/2020).
Artinya untuk golongan SKM yang paling laris harga jual ecerannya akan naik dari Rp 1.700/batang menjadi kurang lebih Rp 1.938/batang. Namun sebenarnya masyarakat masih dapat mengakses rokok dengan harga yang lebih murah jika megacu pada Peraturan Dirjen Bea dan Cukai nomor 37 tahun 2017.
Dalam peraturan tersebut harga transaksi pasar (HTP) diperbolehkan didiskon 85% dari harga jual eceran. Artinya harga per batangnya masih bisa dipatok di Rp 1.647. Jika menggunakan harga ini sebagai patokan maka harga rokok masih terdiskon 15% – 38%.
Bagaimanapun juga kenaikan harga rokok tidak akan terjadi secara langsung. Peningkatan akan terjadi secara bertahap seperti tahun 2020. Jika berkaca pada tahun lalu harga rokok di pasaran masih terdiskon 9-30% dari harga jual eceran tertinggi (HJET) yang sudah dipatok oleh pemerintah.
Hal tersebut disebabkan oleh kemungkinan permintaan yang masih rendah di tahun depan akibat prospek pemulihan ekonomi yang masih dipenuhi ketidakpastian dan kenaikan cukai yang tinggi.
Well, pada akhirnya kenaikan harga rokok juga tidak akan terjadi serempak sehingga dampak ke inflasinya relatif lebih rendah ketimbang harga-harga sembako yang fluktuasi di pasarnya sangat tinggi.
Sumber : CNBC