Jakarta, YukUpdate – Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) berencana mempercepat persetujuan vaksin virus corona (Covid-19) buatan sejumlah perusahaan mulai dari Amerika Serikat hingga China.
Langkah itu dilakukan WHO sebagai upaya mendukung program vaksinasi massal yang telah dilakukan puluhan negara terutama ke negara-negara kurang berkembang.
Berdasarkan dokumen internal WHO yang didapat Reuters, berikut daftar vaksin yang disebut akan disetujui WHO dalam hitungan minggu hingga beberapa bulan ke depan.
Vaksin AstraZeneca-Oxford University
Menurut dokumen itu, vaksin Covid-19 buatan perusahaan farmasi Inggris, AstraZeneca, dan diproduksi Serum Institute of India (SII) kemungkinan disahkan WHO pada bulan ini atau Februari mendatang.
Vaksin AstraZeneca yang diproduksi oleh perusahaan Korea Selatan, SK Bioscience, juga kemungkinan disetujui WHO pada paruh kedua Februari.
AstraZeneca sejauh ini belum memberikan komentar terkait persetujuan vaksinnya itu oleh WHO. Namun, Kepala Dewan Eksekutif SII, Adar Poonawalla, pada pekan lalu mengatakan bahwa dia berharap bisa mendapat otorisasi penggunaan dari WHO “dalam satu atau dua minggu mendatang”.
Sejauh ini, vaksin AstraZeneca yang dikembangkan bersama Universitas Oxford telah mendapat persetujuan penggunaan darurat di Inggris. Uni Eropa dan Amerika Serikat dijadwalkan mengeluarkan otorisasi serupa terhadap vaksin AstraZeneca dalam waktu dekat.
Sinovac dan Sinopharm
WHO juga sedang mempertimbangkan kemungkinan memberikan persetujuan cepat bagi dua vaksin buatan perusahaan farmasi China, Sinopharm dan Sinovac.
Dokumen itu memaparkan WHO kemungkinan memberikan otorisasi bagi dua vaksin China tersebut paling cepat pada Maret mendatang.
Sinopharm telah mengajukan permohonan persetujuan penggunaan kepada WHO untuk dua jenis vaksin corona buatannya.
Namun, WHO menuturkan pihaknya kemungkinan baru akan memberikan persetujuan itu untuk vaksin Sinopharm yang dikembangkan oleh afiliasinya yang berbasis di Beijing, Beijing Institute of Biological Products Co., Ltd (BIBP). Vaksin tersebut telah banyak digunakan oleh China dalam program vaksinasi massal.
Sementara itu, Sinovac belum merilis hasil uji coba tahap III secara global. Namun, vaksinya itu telah disetujui untuk penggunaan darurat di negara-negara seperti Brasil, Indonesia, dan Turki.
Pfizer/BioNTech
Dokumen COVAX juga memaparkan bahwa WHO mengesahkan vaksin yang dikembangkan perusahaan Pfizer/BioNTech pada Desember lalu.
Covax awalnya tidak memasukkan vaksin Pfizer/BioNTech sebagai pilihannya. Namun, pejabat WHO mengatakan pihaknya tengah berunding untuk menyepakati pasokan vaksin Pfizer/BioNTech bagi COVAX.
Moderna
WHO juga disebut akan menyetujui vaksin dengan teknologi mRNA lainnya, Moderna, pada akhir Februari.
Vaksin buatan perusahaan farmasi asal AS itu sejauh ini telah mendapat otorisasi penggunaan di banyak negara Barat termasuk AS dan Uni Eropa.
Johnson & Johnson
Dokumen WHO juga menjelaskan bahwa pihaknya berharap bisa mengeluarkan otorisasi vaksin buatan Johnson & Johnson (J&J) paling cepat Mei atau Juni mendatang. Hingga kini, J7J belum mengungkap hasil uji klinis fase III vaksinnya.
Namun, Uni Eropa berharap J&J akan mengajukan persetujuan vaksin secepatnya pada Februari.
Sputnik V
Sejauh ini, WHO belum memaparkan kapan otorisasi penggunaan vaksin buatan Rusia, Sputnik V, bisa terbit. Padahal, pengembang vaksin Sputnik V, Institut Gamaleya, telah mengajukan permintaan otorisasi kepada WHO.
Rusia telah mendaftarkan vaksin Sputnik V ke lembaga pengurus obat nasional pada Agustus lalu. Langkah tersebut lebih dahulu ketimbang pengembangan beberapa kandidat vaksin lainnya dari negara Barat.
Rusia mengklaim efikasi vaksin Sputnik V mencapai lebih dari 90 persen. Sejak awal Desember, Rusia telah melakukan vaksinasi terbatas terhadap para pekerja medis dan guru.
Sejauh ini, vaksin Sputnik V sudah mengajukan persetujuan di Serbia, Belarus, Argentina, Bolivia, Aljazair, Paraguay, Venezuela, dan pemerintah Palestina.
Brasil menunda pemberian izin penggunaan darurat vaksin Sputnik V karena kekurangan data terkait efikasi.
Menurut keterangan Anvisa yang diumumkan melalui situs Kementerian Kesehatan Brasil, pemohon disebut tidak bisa memberikan bukti tentang tingkat keamanan vaksin Sputnik V dalam uji klinis tahap tiga, serta sejumlah masalah lain yang terkait dengan perusahaan pengembang.
Sumber : CNN