Jakarta, YukUpdate – Ikatan Dokter Indonesia (IDAI) memperbaharui jadwal imunisasi untuk anak usia 0-18 tahun. Perubahan ini dibuat berdasarkan aturan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dan kebijakan dari Kementerian Kesehatan RI.
Pemilik Rumah Vaksinasi Bogor, dr Tafdhila Rahmaniah menuturkan, perubahan dilakukan seiring perkembangan ilmu pengetahuan.
“Sekarang memang tidak ada lagi vaksin wajib, nonwajib, tidak ada pengkotak-kotakan. Semua vaksin yang ada di jadwal sifatnya sangat dianjurkan,” jelas Dhila saat sesi Live Instagram
Pada jadwal terbaru, ada 15 jenis vaksin yang dianjurkan. Perubahan terjadi pada 14 vaksin dari segi jadwal dan pemberian dosis. Hanya vaksin tifoid yang tidak mengalami perubahan.
Melihat perubahan ini, Dhila mengingatkan ada beberapa hal yang perlu diperhatikan orang tua.
1. Walau terlambat, tetap bisa dikejar
Jika diperhatikan, ada perubahan jadwal pada pemberian beberapa jenis vaksin. Dhila memberikan contoh, pada jadwal imunisasi IDAI 2017, vaksin hepatitis A diberikan pada usia 2 tahun. Kemudian pada jadwal 2020, vaksin hepatitis A diberikan saat anak usia 11-12 bulan. Perubahan ini terjadi karena data menunjukkan, banyaknya kasus hepatitis A pada anak usia di bawah 2 tahun.
“Kalau sudah terlewat, ada catch up vaksinasi, vaksin bisa dikejar diberikan. Dari 15 jenis vaksin, yang tidak bisa dikejar hanya vaksin rotavirus. Lainnya kalau belum atau terlewat, bisa dikejar. Ibu bisa berkonsultasi dengan dokter masing-masing,” jelas dia.
2. Jadwal ketat vaksin rotavirus
Vaksin rotavirus terbilang istimewa karena jadwal pemberiannya yang ketat. Vaksin wajib diberikan saat anak berusia 6-12 minggu atau 1,5-3 bulan dan tidak boleh lewat dari 12 minggu. Pada jadwal tabel IDAI, vaksin rotavirus disarankan diberikan saat usia 2 bulan.
“Vaksin rotavirus diberikan oral atau ditetes dengan tujuan akhir ke usus atau sistem pencernaan,” kata Dhila.
Vaksin rotavirus tidak boleh terlambat diberikan. Pasalnya, laporan memperlihatkan, pemberian vaksin rotavirus lebih dari usia 12 minggu membuat angka kasus adhesi atau pelengketan usus meningkat. “Kalau terjadi pelengketan usus, harus dioperasi,” kata Dhila.
Vaksin rotavirus mencegah diare akibat rotavirus. Sebanyak 90 persen kasus diare pada anak di bawah 5 tahun disebabkan oleh rotavirus.
Meski tampak sepele, tapi diare bisa mengakibatkan dehidrasi dengan cepat. Diare juga jadi penyebab kematian anak di bawah usia 5 tahun tertinggi kedua.
3. Utamakan vaksin primer
Dhila menyarankan orang tua untuk mengutamakan vaksin primer ketika akan melengkapi imunisasi anak. Ia memberikan contoh vaksin polio awal (polio 0) diberikan sejak lahir, kemudian diberikan secara berurutan hingga vaksin polio-3 di usia 4 bulan. Setelah itu baru booster di usia 18 bulan.
“Usahakan primer sudah diberikan. Tapi kalau tidak bisa sama sekali, misal akses susah atau RS tutup, bisa ditunda sampai sebulan,” katanya.
Covid-19, lanjut Dhila, jadi contoh nyata pandemi. 15 jenis vaksin untuk 15 jenis penyakit ini dikhawatirkan menjadi pandemi berikutnya jika cakupan imunitas menurun. Dengan demikian, penting bagi orang tua untuk memastikan vaksinasi anak sesuai jadwal.
4. Tentang booster vaksin
Booster vaksin diberikan saat vaksin primer sudah terpenuhi. Dhila menjelaskan, booster vaksin merupakan dosis pengingat. Perlindungan atau kadar antibodi bisa menurun seiring bertambah usia sehingga perlu booster untuk mengembalikan sekaligus meningkatkan perlindungan.
5. Tetap ada kemungkinan demam
Orang tua pasti familiar dengan efek samping demam setelah vaksinasi. Karena itu pula, kini kita mengenal vaksin antidemam dan vaksin biasa yang bisa menimbulkan demam.
Vaksin antidemam menjanjikan anak tidak akan mengalami demam usai vaksinasi. Vaksin jenis ini pun harganya jauh lebih mahal daripada vaksin biasa.
Akan tetapi, penggunaan vaksin antidemam tidak menjamin 100 persen anak tidak demam. Dhila berkata, kemungkinan demam masih ada sehingga orang tua tidak perlu kaget ketika anak mengalami demam meski telah diberikan vaksin antidemam.
“Vaksin apa pun, kemungkinan demam selalu ada. Rata-rata maksimal demam selama 3 hari setelah vaksinasi. Setelah 3 hari, demam akan turun sendiri,” imbuhnya.
Demam memang jadi reaksi alami vaksinasi. Namun, sangat memungkinkan demam timbul akibat infeksi yang kebetulan terjadi bersamaan. Orang tua perlu memperhatikan jika ada gejala lain seperti batuk, pilek, dan ruam.
Saat demam, orang tua bisa memberikan obat penurun panas sesuai anjuran dokter. Jika keluarga memiliki riwayat kejang akibat demam tinggi, sebaiknya segera berikan obat penurun panas sebelum suhu badan anak semakin tinggi dan berisiko kejang.
6. Vaksin untuk bayi prematur
Kegalauan menyoal vaksin biasanya terjadi saat anak lahir prematur. Apakah ibu mengikuti usia kronologi atau usia koreksi?
“Untuk bayi prematur, itu tetap sesuai [waktu] kelahiran,” kata Dhila.
Namun, jika bayi memiliki berat badan di bawah 2 kilogram, maka vaksinasi bisa ditunda hingga berat badan mencapai 2 kilogram.
7. Bisa vaksin meski anak batuk pilek
Anak yang akan divaksin wajib dalam kondisi sehat. Kondisi batuk dan pilek juga masih memungkinkan seorang anak mendapatkan vaksinasi.
Namun, jika anak sampai mengalami demam, orang tua disarankan untuk menunda vaksinasi. “Karena kita tidak tahu ini demam karena apa. Jadi tunggu stabil dulu. Baiknya kondisi badan sehat,” katanya.
Sumber : CNN