Denpasar, YukUpdate – Kisah seorang anak yang durhaka dan mengusir ibu kandungnya ternyata tidak hanya ada di sinetron. Hal itu nyata adanya, seperti yang dialami oleh I Ketut Reni,v76, asal Banjar Dinas Geluntung Kaja, Desa Geluntung, Kecamatan Marga, Kabupaten Tabanan. Ia diperlakukan tidak baik dan tidak diakui oleh anak kandungnya yang menikah di Cikarang, Kabupaten Bekasi, Jawa Barat.
Ditemui di Pelayanan Rumah Singgah Lansia, Jalan Cok Agung Trensa, Renon Denpasar, Selasa (30/3), nampaknya psikologisnya belum sembuh total. Sebab, ketika diajak bicara ia bercerita dengan kondisinya yang diusir oleh anak kandungnya tersebut. “Saya transmigrasi ke Lampung sudah 35 tahun. Kalau suami tidak meninggal saya tidak pulang ke Bali,” tuturnya.
Nenek Reni pun menceritakan dirinya memiliki tiga orang anak, anak yang ketiga meninggal dunia, nomor dua sudah menikah di Lampung, dan anak yang pertama menikah di Cikarang. Ia menyebutkan anaknya itu mualaf, meski demikian menantunya lebih perhatian dengannnya.
“Anak yang pertama ini membuat saya sakit hati, padahal menantu saya bilang hidup mati agar tetap di sana. Tapi ketika menantu saya tidak ada, justru anak saya yang banyak tingkah,” sambungnya.
Lantaran menantunya bekerja pagi berangkat jam 5 dan pulang jam 8 malam, bahkan terkadang lembur, membuat ia tidak nyaman dengan kelakuan anaknya sendiri. Merasa sakit hati, Ketut Reni pun memutuskan untuk ke Lampung ke tempatnya transmigrasi dulu, namun dengan tujuan yang tidak jelas. Karena sejak suaminya meninggal ia sudah pulang ke Bali.
Dalam perjalanan dari Cikarang menuju Lampung dengan numpang bis, ia mengaku sempat beberapa kali mau bunuh diri, namun tidak berhasil.
Lanjutnya, dalam perjalanan menuju Lampung ia kesasar di stasiun kereta api di wilayah Banten. Karena tanpa tujuan Ketut Reni hanya berjalan kaki menyusuri rel kereta api tersebut.
Hingga akhirnya ia sampai di sebuah gubug di wilayah Kota Cilegon, Kabupaten Banten. Bahkan, saat itu ia sempat akan mencoba bunuh diri dengan melompat ke kereta yang melintas, namun warga setempat mencegahnya.
Ditanya kenapa sampai mau melakukan hal itu? Ia mengaku karena hal tersebutlah (meninggal) yang ia harapkan satu-satunya saat ini. Sedangkan jika pulang ke Bali, Ketut Reni juga mengaku tidak diterima oleh keluarganya yang ada di Bali. Bahkan, sebelumnya ia sudah sempat bilang tidak akan kembali lagi ke rumahnya di Tabanan.
“ Kalau pulang ke Bali tidak diterima oleh keluarga. Keponakan dari suami saya bilang, dibilang banjar tidak menerima saya,” jelasnya.
Ditanya selama di Tabanan, siapa yang mengajak? Ketut Reni mengaku hanya mengandalkan uluran dari warga setempat. Dengan kondisinya yang sedikit kebingungan ia menjelaskan hanya jalan di seputaran banjarnya sambil menerima belas kasihan dari warga.
“Majalan tiyang ngajanan ngelodan, ada nak olas kadang bange tiyang makan, ” paparnya. Maksudnya, ia jalan mondar mandir di seputar banjar, kalau ada orang iklhas ada yang memberinya makan.
Pada tempat yang sama, warga yang menolong nenek Reni adalah Gusti Mustika, warga Cilegon, Banten. Gusti Mustika merupakan warga asli dari Kecamatan Petang, Kabupaten Badung. Namun ia lahir dan besar di Sumatera, lantaran orang tuanya transmigrasi dan kini ia merantau kembali di Banten.
Saat nenek Reni ini hendak meloncat ke kereta api yang melintas, lokasinya tidak jauh dari rumah Gusti Mustika.
“ Pada Sabtu (13/3), nenek ini lewat di belakang rumah saya. Sekitar 5 meter ada gubug kosong. Ada kereta lewat si nenek mencoba meloncat ke kereta mau lompat bunuh diri. Dari sana saya terpancing menolong, dan saya awalnya tidak tahu latar belakangnya apa, agamanya apa. Ternyata tidak menyangka umat kita,” jelasnya.
Selanjutnya, ia pun mengajak nenek Reni ke rumahnya. Saat ditanya tidak nyambung. “Saya tanya mau kemana dan dari mana, dia bilang Geluntung Kaja. Karena saya tidak tahu nama desa di Bali, ya saya tenangkan dulu. Kasi makan, dan saya ajak di rumah sambil mencari jalan keluar,” sambungnya.
Kemudian besok paginya, nenek Reni ini pun ingat bawa KTP. Ia membawa tiga KTP, nama sama dan satu alamat yang berbeda, yaitu saat ia tinggal di Lampung. Di sana, Gusti Mustika menemukan selembaran kertas. Bahwa tertulis alamat anaknya yang di Cikarang dan nomor telepon.
“Mengejutkan sekali. Saat saya hubungi tak menyangka, dia (anaknya) tidak mengakui itu ibunya, lama dia ngomong. Saya bilang ibunya ini saya temukan tergeletak di rel kereta api, dan sekarang ada di rumah sakit, beritanya saya sengaja buat. Tidak mampu juga memancing reaksi, sebab saya sudah yakin itu anaknya, namun dia tidak mengakui,” ujarnya.
Bahkan, saat dihubungi berkali-kali akhirnya mengakui ibunya dan anaknya itu menjelek -jelakan orang tuanya. Sempat juga ia tanya mau diajak kemana sekarang ibunya. Namun dijawab karena ibunya menganggap ia musuh, sehingga agar dibawa ke identitas ada di KTP ibunya tersebut. Namun ibunya, nenek Reni tidak mau kembali ke anaknya tersebut dan tidak mau pulang ke rumahnya di Marga, Tabanan.
“Saya tanya dan tawarkan di sini ada tempat di pura atau di tempat saya. Kalau di Banten organisasi umat Hindu solid sekali. Saya hubungi ketua banjar, jika dititip di pura, pura bukan tempat panti, dan yang kasi makan siapa. Saya ajak nenek ini di rumah hampir 4 minggu, sambil mencari solusi dan hasil musyawarah,” papar Gusti Mustika.
Atas upaya Gusti Mustika, beberapa bantuan pun datang. Dari Wanita Hindu Dharma Indonesia (WHDI) dan Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) Banten. Baik berupa makanan dan pakaian untuk nenek Reni. “Karena di Bali tidak mau terima beliau. Tembuslah sampai di PHDI Bali. Hingga akhirnya tembus Dinas Sosial Provinsi Bali dan sampai di rumah singgah ini,” jelasnya.
Sehingga solusi yang didapatkan nenek Reni dipulangkan ke Bali, hanya saja sampai di rumah singgah lansia dan akan tinggal di panti jompo di bawah naungan Dinas Sosial Provinsi Bali. “Bahkan keberangkatan dari Banten ke Denpasar ini murni dibiayai dari dana punia dari umat Cilegon, Banten. Ada yang dana punia Rp 100 ribu, Rp 200 ribu, itu yang bisa sampai terkumpul sekian juta rupiah untuk biaya keberangkatan, termasuk rapid tes dan segala macam,” tandasnya.
Gusti Mustika pun rela menemani nenek Reni sampai di Bali, hal itu tiada lain dari kepeduliannya sesama umat. Terlebih ia mengetahui dengan kondisi nenek Reni saat ini. “Setelah emek (ibu) psikologisnya berangsur pulih, saya akan pamit pulang ke Banten. Semoga emek bahagia di sini dan terus sehat,” imbuhnya.
Dikonfirmasi terpisah Kepala Dinas Sosial Provinsi Bali, I Dewa Gede Mahendra Putra menjelaskan sudah tugas pihaknya merawat orang tua yang telantar. “Untuk nenek Reni sudah kewajiban kita itu merawatnya. Nanti kita akan tempatkan di panti untuk orang tua termlantar, dan sekarang masih di rumah singgah dua sampai tiga hari sampai keadaannya pulih,” tandasnya.
Sumber : jawapos