Berhubung pemilihan Presiden dan Caleg sudah selesai di tahun 2019 ini Admin merasa masih perlu untuk memberikan penjelasan tentang Lembaga Legislatif ini, agar pembaca semua juga tahu yang kemaren di coblos saat pemilu 17 April kemaren nanti tugasnya apasih. Yuk kita simak penjelasannya :
Seiring dengan usia saya sebagai warga negara yang makin tua, saya makin merasa penting untuk bisa melek politik, bagaimana membaca isu politik dengan bijak, bagaimana memilih pemimpin politik dengan bijak, dan bagaimana turut berpartisipasi pada kehidupan politik di negeri ini. Satu hal yang saya garisbawahi, kita sebagai warga negara memang masih lebih sering terpaku pada sosok kepala negara kita, dan sering abai pada wakil kita sendiri di lembaga legislatif. Padahal, memilih anggota legislatif yang koheren dengan kepentingan kita, adalah langkah penting jika kita ingin negara ini berkembang dalam arah yang sesuai dengan kesejahteraan kita.
Jadi jangan heran, kalau ada hal yang kita apresiasi dari kinerja pemerintah, pasti yang kita puji (duluan) adalah presidennya, baru (mungkin) menteri yang memang berkaitan langsung, baru (mungkin) deputi atau dirjen yang memang melaksanakan kebijakan di lapangan, dan (mungkin) tidak pernah kita apresiasi UU yang memang dibuat oleh legislatif dan menjadi dasar atas kerja pemerintah tersebut.
Sebaliknya, kalau ada yang ingin kita kritik dari kinerja pemerintah, yang kita hina (duluan) adalah presidennya, baru (mungkin) menteri yang memang berkaitan langsung, baru (mungkin) deputi atau dirjen yang memang melaksanakan kebijakan di lapangan, dan (mungkin) tidak pernah kita mengkritik UU yang memang dibuat secara lalai atau terlambat oleh legislatif dan menjadi dasar atas kerja pemerintah tersebut.
Maka itu saudara, saya pun ingin agak sedikit berbagi tentang lembaga legislatif ini, terutama tentang keberadaan empat jenis lembaga legislatif yang sering kita dengar: DPR, MPR, DPD, dan DPRD. Apa perbedaan antara mereka? Dan apa pula persamaannya jika ada? Apa filosofi dari tiap lembaga? Mari kita belajar sesuatu hari ini.
Pertama, DPR, singkatan dari Dewan Perwakilan Rakyat. Merekalah lembaga yang berfungsi sebagai legislator di level pemerintah pusat Negara Indonesia. Tugas utama mereka dapat dibagi dalam tiga fungsi:
Fungsi pertama, legislasi, adalah fungsi untuk membuat Undang-undang (UU). Dari mulai Rancangan Undang-undang (RUU), hingga disahkan menjadi Undang-undang yang sah oleh presiden. Setelah disahkan, UU ini wajib dilaksanakan oleh Presiden dan jajarannya, alias eksekutif.
Fungsi kedua, anggaran, DPR dapat membahas, memberikan usulan, menyetujui, atau menolak RAPBN (Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara) yang diajukan oleh presiden. Jika disetujui, RAPBN akan menjadi APBN, jika tidak disetujui dan diskusinya mentok, APBN tahun lalu bisa digunakan kembali.
Fungsi ketiga, pengawasan. DPR sebagai badan legislatif berfungsi mengawasi badan eksekutif dalam menegakkan UU dan APBN yang telah disahkan dan berlaku.
Lanjut ya, lembaga kedua adalah MPR, alias Majelis Permusyawaratan Indonesia. Ini sebenarnya lembaga yang agak membosankan. Intinya, tugas MPR sebenarnya hanyalah berwenang mengubah UUD, melantik presiden dan wakil presiden, memberhentikan presiden dan wakil presiden, dan menunjuk presiden atau wakil presiden baru dari rekomendasi parpol pemenang pemilu jika presiden atau wakil presiden yang lama mangkat, diberhentikan, atau tidak bisa lagi menjabat karena alasan tertentu.
Anggota MPR ini sebenarnya terdiri dari gabungan semua anggota DPR dan DPD. Mereka akan menggelar sidang setidaknya sekali dalam lima tahun. Acara pelantikan presiden biasanya tidak lebih dari sekedar seremonial karena yang dilantik tentu saja pasangan presiden dan wakil presiden yang menang pemilu. Jarang sekali ada kasus presiden diberhentikan MPR, sekalipun tentu saja pernah, tentu anda tahu kapan itu terjadi.
Jarang pula presiden berhalangan menjabat karena mangkat atau mengundurkan diri sehingga harus dicarikan penggantinya oleh MPR, dan lebih jarang lagi ada wacana UUD mau diubah.
Singkatnya, MPR ini tidak punya banyak kegiatan karena tentu tiap anggotanya juga sudah sibuk di DPR dan DPD. Percaya atau tidak, banyak lho yang menyarankan agar MPR dibubarkan saja, sehingga kalau ada keperluan negara sebagaimana yang biasa dilakukan MPR (melantik presiden, mengubah UUD, dan sebagainya), cukup kumpulkan DPR dan DPD saja dalam sidang, tidak perlu mengatasnamakan lembaga baru bernama MPR. Tapi hal tersebut belum terjadi, sehingga untuk sementara waktu, MPR akan ada di sini bersama kita semua.
Ketiga, lanjut ke DPRD, alias Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Lembaga ini cukup mudah, bayangkan saja bahwa DPRD ini seperti DPR, tapi tingkatnya di daerah. Ada dua jenis DPRD, yaitu DPRD Provinsi dan DPRD Kota/Kabupaten. Kedua jenis DPRD ini dipilih oleh masyarakat provinsi, kota, dan kabupaten sesuai daerahnya masing-masing melalui pemilu. Nantinya daerah tersebut akan dibagi dalam beberapa daerah pemilihan.
Saya beri contoh, mari tengok Daerah Istimewa Yogyakarta yang memiliki empat kabupaten dan satu kota, kabupaten Bantul akan kebagian 6 dapil dengan alokasi 45 kursi, kabupaten Gunungkidul kebagian 5 dapil dengan alokasi 45 kursi, Sleman memiliki 5 dapil dengan alokasi 50 kursi, kabupaten Kulonprogo memiliki 5 dapil dengan alokasi 40 kursi. Kota Yogyakarta kebagian 5 dapil dengan alokasi 40 kursi. Total berarti ada 220 orang yang duduk sebagai DPRD Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.
Jadi jika DPR RI pusat bekerjasama dengan Presiden, maka DPRD Provinsi bekerjasama dengan Gubernur, dan DPRD Kota/Kabupaten bekerjasama dengan wali kota/bupati daerah bersangkutan.
Keempat, dan yang barangkali agak jarang dipahami orang, adalah DPD, alias Dewan Perwakilan Daerah. Meski namanya “daerah”, sebenarnya DPD berkantor di pusat ibukota. Mereka adalah wakil dari berbagai daerah yang ditunjuk oleh rakyat daerah untuk mewakili aspirasi kedaerahan dan mengkoordinasi hubungan antara pemerintah pusat dan daerah. Di sini mungkin agak membingungkan, karena DPR juga dipilih dari daerah melalui mekanisme Dapil (Daerah Pemilihan), namun filosofi yang melatarbelakanginya sungguh-sungguh berbeda.
Untuk bisa memahami DPD secara lebih baik, akan lebih mudah untuk langsung membandingkannya secara head-to-head dengan DPR, karena sesungguhnya DPR dan DPD ini memang seperti saudara kembar yang mirip, tapi bisa sangat berbeda.
Dari segi filosofi, DPR adalah LEGISLATOR, ia adalah perwakilan atas kepentingan rakyat umum dalam dinamika pemerintahan. Maka itu, yang diurus DPR adalah pembuatan UU, pembahasan APBN, dan pengawasan atas kerja eksekutif.
Sementara DPD adalah SENATOR, ia adalah perwakilan atas kepentingan daerah dalam pemerintahan. Maka itu, yang diurus DPD adalah soal otonomi daerah, hubungan daerah dan pemerintah pusat, permasalahan daerah di wilayah perbatasan, penggabungan atau pemisahan daerah, dan lain sebagainya.
Tapi bukankah DPR juga dipilih dari masyarakat di daerah melalui mekanisme dapil?
Benar sekali, tapi jumlah yang diambil sama sekali berbeda untuk kedua lembaga ini. Karena DPR adalah legislator yang mewakili rakyat umum, maka kursi yang tersedia untuk tiap dapil di tiap provinsi juga berbeda-beda (dan bisa berubah tiap pemilu), dengan mempertimbangkan jumlah penduduk di daerah tersebut. Artinya, tiap provinsi diberi jatah jumlah alokasi yang berbeda-beda untuk duduk di kursi DPR.
Bingung? Oke, contoh saja, provinsi DKI Jakarta memiliki tiga dapil, yaitu Jakarta I, Jakarta II, dan Jakarta III.
Dapil Jakarta I melingkupi Jakarta Timur, dapil ini berhak atas 6 kursi DPR, Dapil Jakarta II melingkupi Jakarta Pusat dan Jakarta Selatan, dapil ini berhak atas 7 kursi DPR, terakhir Dapil Jakarta III melingkupi Kepulauan Seribu, Jakarta Barat, dan Jakarta Selatan, dapil ini berhak atas 8 kursi DPR. Totalnya, DKI Jakarta berhak atas 21 kursi di DPR.
Jika DKI Jakarta punya tiga dapil, bandingkan dengan Jawa Barat yang punya 11 Dapil sehingga memiliki 91 kursi di DPR, bandingkan pula dengan Daerah Istimewa Yogyakarta yang hanya punya 1 Dapil dan hanya punya 8 kursi di DPR.
Tiap dapil memang punya proporsi kursi yang berbeda-beda, tapi dilihat dari perbedaan jumlah dapil saja sudah menunjukan bahwa populasi penduduk menjadi penentu jumlah proporsi kursi DPR. Tidak heran dapil terbanyak ada di Jawa Barat (11), Jawa Tengah (10) dan Jawa Timur (11). Coba cek situs KPU, berapa jumlah DPR yang berasal dari ketiga provinsi ini. Pasti banyak sekali.
Bagaimana dengan DPD? Karena DPD adalah perwakilan daerah (provinsi), maka setiap daerah memiliki hak kursi yang sama: 4 (kecuali kalau suatu saat ditambah).
DKI Jakarta dapat empat kursi (DPD DKI Jakarta), Jawa Barat dapat empat kursi (DPD Jawa Barat), Daerah Istimewa Yogyakarta juga dapat empat kursi (DPD DIY). Semua utusan dari tiap provinsi yang telah dipilih melalui pemilu tersebut akan berkumpul di ibukota membentuk lembaga bernama Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD RI).
Jadi sudah jelas, sekalipun mekanisme pemilihannya tetap melalui pemilu langsung oleh rakyat, tapi DPR, DPRD, dan DPD sama sekali berbeda mekanisme dan tujuan pemilihannya.
Sedikit menyinggung kembali tentang DPR dan DPD, dua kamar legislatif ini juga dapat ditemui di luar negeri (sekalipun tidak persis sama, karena ada beberapa perbedaan mencolok).
Di Amerika Serikat, lembaga legislatifnya benar-benar terbagi dua (bikameral): House of Representatives dan Senate. House memiliki 535 kursi, yang mana tiap kursi dihuni oleh perwakilan rakyat dari 50 negara bagian dengan proporsional. Daerah California yang paling besar dan padat penduduk berhak atas 53 kursi House, Alaska yang kecil dan sepi penduduk hanya bisa menduduki 1 kursi, Texas 36 kursi, Louisiana 6 kursi, Wisconsin 8 kursi, Florida 27 kursi, dan lain sebagainya. Total akan ada 535 orang di kursi House of Representatives.
Sementara US Senate menyediakan dua kursi untuk masing-masing 50 negara bagiannya, tidak peduli seramai atau sesepi apapun tiap-tiap daerah. Sehingga total, ada 100 orang di kursi US Senate.
Secara konteks-historis, Amerika Serikat menerapkan dua sistem pemilihan seperti ini karena: satu sisi mereka percaya atas bentuk keterwakilan rakyat yang setara, artinya wakil rakyat di House of Representatives dipilih secara proporsional melalui jumlah penduduk tiap daerah, namun di sisi lain diberlakukan juga asas keterwakilan federasi, agar tiap daerah yang jumlah penduduknya kecil “dibekali” wakil yang jumlahnya menyamai daerah lain yang di kamar Senate. Baik House maupun Senate sama-sama lembaga legislatif yang bisa membuat UU, mengatur APBN, mengawasi pemerintahan, dan bahkan bisa memberhentikan presiden, semuanya bisa sekaligus. Kedua lembaga ini jika digabung disebut pula sebagai “US Congress”.
Indonesia kurang lebih mungkin ingin menyamai cita-cita seperti itu, sekalipun memang punya format yang lain karena konteks-historisnya lain. Kewenangan legislator hanya ada pada DPR, kewenangan DPD ada sebagai perwakilan daerah untuk mengurus hubungan daerah dan pemerintahan pusat, sementara MPR adalah gabungan DPR dan DPD yang mampu mengubah UUD, dan MPR bisa melantik, memberhentikan, dan menunjuk presiden pengganti.
Di antara lembaga-lembaga legislatif ini, ada kecenderungan masyarakat tidak paham mengenai DPD, padahal kalau ditelisik, DPD adalah lembaga yang cukup krusial di negara ini. Entah masyarakat yang masih buta atas DPD sehingga asal-asalan dalam memilih anggota DPD, atau DPD yang selama ini tidak bekerja maksimal sehingga tidak terdengar dengan baik oleh masyarakat, yang pasti peran DPD RI dalam pemerintahan dan peningkatan kesejahteraan rakyat daerah masih sangat kurang.
Kita, sebagai warga negara, atau mungkin tepatnya sebagai warga daerah, punya kekuatan untuk memperbaiki kondisi ini. Kita bisa menggunakan kecermatan kita untuk mengulik tentang caleg yang akan berkontestasi, baik DPD maupun lembaga lainnya. Dan kita bisa menggunakan hak suara kita untuk memilih calon yang memang kita nilai bisa membawa perubahan.
Mari saya beri contoh, di tempat saya tinggal, Daerah Istimewa Yogyakarta, terdapat empat orang DPD DIY yang telah dipilih dan menjabat sejak 2014 silam. Mereka adalah GKR Hemas, Hafidh Asrom, Cholid Mahmud, dan Muhammad Afnan Hadikusumo. Pada Pemilu 2019 besok, ada 11 calon anggota DPD yang akan bertanding, dan keempat petahana sebelumnya telah mengukuhkan diri untuk maju kembali. Selain petahana, artinya ada 7 orang penantang yang nama-namanya bisa diperhitungkan, seperti Arif, Bachrul, Chang, Fidelis, Hilmy, Yohanes, dan Bambang Soepijanto. Mereka semua akan bertanding untuk memperebutkan empat kursi DPD DIY, dan menjadi tantangan bagi warga DIY untuk memilih, siapa yang pantas untuk mewakili mereka di kursi DPD DIY.
Sumber : Kompasiana